Komisi X DPR RI Persoalkan Anggaran POP Kemendikbud lewat Organisasi CSR

Komisi X DPR RI Persoalkan Anggaran POP Kemendikbud lewat Organisasi CSR

JAKARTA - Polemik Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terus menjadi perbincangan publik. Bahkan, ada desakan agar Kemendikbud transparan dan mengevaluasi aliran dana program pelatihan guru tersebut.

Dari wakil rakyat di Senayan misalnya. Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri Faqih mempersoalkan anggaran besar untuk POP.

Apalagi menurutnya, ada organisasi CSR yakni Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation, yang akan mendapatkan dana kategori gajah sebesar Rp 20 miliar untuk pelatihan guru itu. Sehingga dinilai ironis. Sebab, sebelumnya para guru banyak yang memprotes terhadap kebijakan penghentian tunjangan.

Baca juga:

Program Organisasi Penggerak Tuai Polemik, Jokowi Diminta Copot Nadiem dari Mendikbud

Tidak Hanya NU dan Muhammadiyah, PGRI Ikut Mundur dari Program Organisasi Penggerak

“Sekarang anggaran gajah malah dikasih buat melatih guru, tapi melalui perusahaan besar, ini ironi,” terangnya seperti dilansir Jawapos.com, Kamis (23/7).

Fikri mengatakan, kekisruhan itu berpotensi memicu protes para guru lebih besar lagi. Karena dianggap mengusik rasa keadilan dan nurani publik.

Karena belum selesai masalah pemotongan anggaran tunjangan profesi guru di daerah. Disusul penghapusan tunjangan guru di satuan pendidikan kerjasama (SPK), sekarang malah anggaran pelatihan guru dialihkan untuk organisasi CSR perusahaan besar.

Menurutnya politikus PKS itu, keresahan masyarakat soal nasib dan kesejahteraan guru belakangan ini seharusnya direspons dengan lebih bijak oleh pemerintah pusat. Bukan malah terus menambah kontraversi baru.

Dengan alasan pandemi, efisiensi anggaran Rp 3,3 triliun diarahkan untuk memangkas tunjangan guru. “Tapi kita lihat isu kartu pra kerja Rp 5,4 triliun buat siapa? Lalu ada pelatihan guru yang juga dikasih ke perusahaan,” kritiknya.

Dia menegaskan, tidak pantas dana APBN diberikan kepada CSR perusahaan besar yang sudah berlimpah dana. Mereka harus melaksanakan kewajiban undang-undang, yakni menyisihkan pendapatan untuk tanggung jawab sosial. “Artinya memberi, bukan malah diberi, jangan jadi akal-akalan,” terangnya.

Fikri juga mendesak agar hasil evaluasi penilaian dalam POP ditarik Kembali. Kisruh itu sudah melukai banyak elemen masyarakat, di antaranya NU dan Muhammadiyah. Dua ormas terbesar di negeri ini sudah mundur dari penerima program.

Selain NU dan Muhammadiyah juga turut mundur dari POP. Menurut PGRI, program yang rencananya memakan anggaran sebesar Rp 595 miliar itu lebih baik digunakan untuk membantu siswa, guru serta penyediaan infrastruktur. Khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) demi menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di era pandemi Covid-19. (hsn/jp)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: